ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN
WILDHAN ALSYAFBADRI
27316650 / 2TB03
UNIVERSITAS GUNADARMACagar Alam Peninjauan Mancak-Serang, Banten, Indonesia |
Tekanan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini lebih intrusif lagi. Pertama-tama disebabkan tekanan ekonomis memaksa eksplorasi kekayaan sumber daya alam dengan mengonversi yang tumbuh di atas bumi misalnya, kayu hutan hujan menjadi bahan baku pada pabrik plywood serta kilang gergaji. Hutan dan tanah dusun juga dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kedua, kekayaan dari perut bumi, yakni mineral-mineral digali dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk permintaan pasar dunia. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat pasca tradisional lebih diprioritaskan dibandingkan kebutuhan masyarakat pra modern. Bahan mentah sebenarnya terletak di “Lebensraum” kelompok tradisional. Sejak lama Kalimantan dilihat sebagai sumber alam yang tidak ada habis-habisnya, padahal sumber itu sebenarnya terbatas.
Sumber daya alam (SDA) merupakan anugerah Tuhan yang harus kita syukuri dengan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan kita jaga kelestariannya. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa memperhatikan aspek peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat mendatangkan berbagai macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap, pemanasan global hingga bencana lumpur panas Sidoarjo yang sangat merugikan masyarakat.
Bencana tanah longsor disebabkan oleh penggundulan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan. Ketika hutan dalam keadaan gundul maka formasi tanah akan menjadi larut dan menggelincir diatas bidang licin pada saat terjadi hujan. Sehingga bencana banjir yang disertai tanah longsor tidak dapat dihindarkan lagi.
Bencana banjir yang selalu terjadi setiap tahun hampir di seluruh wilayah Indonesia disebabkan oleh polah tingkah manusia yang suka membuang sampah sembarangan yang mengakibatkan rusaknya tata guna lahan dan air. Tata guna lahan dan air menyebabkan laju erosi dan frekuensi banjir meningkat.
Eksploitasi hutan di daerah hulu yang dapat menghilangkan fungsi hutan di daerah hulu sebagai penutup lahan terhadap tumpahan air hujan dan penghambat kecepatan aliran permukaan juga dapat menyebabkan banjir. Pembangunan dan penataan sarana-sarana fisik yang tidak teratur dan pengguanaan lahan yang tidak seimbang di kota-kota besar seperti Jakarta merupakan salah saru sebab ibu kota negara ini tidak pernah absen dari bencana banjir. Contoh: Tidak diperhatikannya aspek drainase, banyaknya bangunan di bantaran sungai, berubahnya fungsi lahan dan lain-lain.
nah ini... gua akan ngambis studi kasus bangunan bangunan di bantaran sungai..
Kalau kalian pernah menjumpai rumah-rumah di sekitar sungai coba kalian
perhatikan apakah rumah tersebut mengganggu pemandangan atau merusak
lingkungan. Membangun rumah disekitar sungai apalagi kalau pondasi
rumahnya sampai masuk kedalam sungai sama saja dengan mempersempit
sungai dan
memperlebar potensi bahaya, dari segi keindahan juga kurang indah.
Coba perhatikan rumah-rumah di pinggir sungai pasti limbah
rumah tangga dialirkan langsung ke sungai otomatis hal ini akan mengkotori
sungai dan sampah juga akan langsung dibuang ke sungai seolah-olah sungai
adalah tempat sampah raksasa bagi warga yang tinggal di pinggir sungai.
Situasi pemukiman di bantaran Sungai |
Rumah-rumah di tepi sungai sudah pasti menghilangkan
pohon-pohon yang seharusnya ada disepanjang aliran sungai sehingga tanah tidak bisa
menampung air hujan dengan maksimal, kalau tanah sudah tidak bisa menampung
akibatnya tanah bisa longsor. Makanya mulai sekarang jangan membuang sampah
sembarangan ya, hentikan penebangan pohon secara liar dan tentunya jangan
membangun rumah di pinggir sungai.ak dapat dipungkiri, keberadaan mayoritas bangunan perumahan di bantaran sungai menjadi biang kerok terjadinya banjir Kebanyakan dari ego yang tinggi hanya memerhatikan
kepentingan individu dan kelompoknya sendiri, dengan mengabaikan dampak
buruk bagi lingkungan dan orang lain, bahkan membahayakan diri sendiri.
Kolam di tengah Kolam |
Bapak Sobirin, salah seorang
anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS)
dan Bandung Spirit dalam opininya di harian Pikiran Rakyat, 8 Januari
2008 berkomentar sebagai berikut,. “Permukiman di daerah sempadan
sungai telah tumbuh sebagai fakta sejarah, merupakan manifestasi
tuntutan kebutuhan ruang, yaitu ketika jumlah penduduk semakin banyak
dan lahan sangat terbatas.
Lahan di pinggir sungai dianggap ”tidak bertuan”, kemudian diwujudkan dalam ekspansi ruang dengan membangun hunian tempat tinggal. Akhirnya hunian tersebut menjadi masalah ketika pemerintah terlambat menangani. Pemerintah tak mampu lagi mengendalikan pertumbuhan bangunan yang semakin memadati sempadan sungai dan bencana banjir datang secara rutin setiap tahun….
….Menurut perundang-undangan, membangun dan tinggal di daerah sempadan sungai adalah tidak benar. Berubahnya sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung setempat menjadi kawasan hunian akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air “
Adapun aturan sempadan sungai bukannya tak ada. Hanya saja selain terjadi pembiaran, aturan tak ditegakkan, semestinya pembangunan liar di bantaran sungai itu dicegah sejak dini. Jangan sampai nanti jika sudah tumbuh rumah-rumah permanen, barulah dilakukan penindakan. Tentunya akan menelan biaya dan enerji lebih besar. Serta akan merugikan mereka yang sudah kepalang mendirikan bangunan secara liar di bantaran sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, diamanatkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung.
Sesuai dengan Permen PU No. 63/PRT/1996 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, danBekas Sungai, menetapkan:
Pasal 6 ayat 1: Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan sebagaiberikut: Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
Pasal 8: Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.
Pasal 12: Pada daerah sempadan dilarang:Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Berdasarkan Permen PU No. 63/PRT/1996, bangunan yang didirikan di pinggir sungai adalah terlarang, di mana akan membahayakan bagi penghuninya maupun lingkungan sekitarnya.
Kewenangan penertiban bangunan terlarang tersebut berada pada aparatur Daerah setempat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Demikian peraturan yang penulis cuplik dari web site Ditjen Cipta Karya.
Lahan di pinggir sungai dianggap ”tidak bertuan”, kemudian diwujudkan dalam ekspansi ruang dengan membangun hunian tempat tinggal. Akhirnya hunian tersebut menjadi masalah ketika pemerintah terlambat menangani. Pemerintah tak mampu lagi mengendalikan pertumbuhan bangunan yang semakin memadati sempadan sungai dan bencana banjir datang secara rutin setiap tahun….
….Menurut perundang-undangan, membangun dan tinggal di daerah sempadan sungai adalah tidak benar. Berubahnya sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung setempat menjadi kawasan hunian akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air “
Adapun aturan sempadan sungai bukannya tak ada. Hanya saja selain terjadi pembiaran, aturan tak ditegakkan, semestinya pembangunan liar di bantaran sungai itu dicegah sejak dini. Jangan sampai nanti jika sudah tumbuh rumah-rumah permanen, barulah dilakukan penindakan. Tentunya akan menelan biaya dan enerji lebih besar. Serta akan merugikan mereka yang sudah kepalang mendirikan bangunan secara liar di bantaran sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, diamanatkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung.
Sesuai dengan Permen PU No. 63/PRT/1996 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, danBekas Sungai, menetapkan:
Pasal 6 ayat 1: Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan sebagaiberikut: Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
Pasal 8: Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.
Pasal 12: Pada daerah sempadan dilarang:Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Berdasarkan Permen PU No. 63/PRT/1996, bangunan yang didirikan di pinggir sungai adalah terlarang, di mana akan membahayakan bagi penghuninya maupun lingkungan sekitarnya.
Kewenangan penertiban bangunan terlarang tersebut berada pada aparatur Daerah setempat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Demikian peraturan yang penulis cuplik dari web site Ditjen Cipta Karya.
Dalam buku “Bandung Tempo Doeloe” karya Haryoto
Kunto,terbitan Granesia Bandung, diceritakan Pancuran Tujuh, mata air
di kawasan Ciumbuleuit kini sudah punah. Serta mirisnya riwayat selokan
serta sungai yang dulu jernih, kini sudah menjadi aliran yang kotor dan
bau.
Masalah peraturan dan himbauan, sebenarnya takkan pernah efektif tanpa dukungan sumber daya manusia yang tahu, mengerti, paham dan handal dalam menyikapi gaya hidup ramah lingkungan.
Apalah artinya semua ilmu pengetahuan, peraturan, rencana-rencana gemilang tanpa sosok pelaksana yang kredibel. Apalah artinya cetak biru dan perencanaan paripurna jika tidak ada yang merealisasikannya dengan cara cerdas, berwawasan, dengan ditenagai semangat dari hati nurani yang jernih.
Perhatikan saja (berita Harian Pikiran Rakyat 30 November 2011 halaman 3), bagaimana bangunan liar di jalan Tamansari Bandung bisa memiliki rekening PLN resmi. Saat dibongkar oleh satpol PP mereka tercatat sebagai pelanggan resmi, yang nota bene syarat pelanggan PLN itu harus memiliki IMB yang sah.
Simak pula betapa merdekanya bangunan-bangunan berdiri di daerah aliran sungai, pada sempadan yang berbahaya buat mereka sendiri, sekaligus membahayakan lingkungan. Bukan tak mungkin mereka merasa berani dan aman karena tak ada tindakan tegas dari yang berwenang sekaligus terjadi pembiaran, bahkan malah dilindungi dukungan dari para oknum.
Maka, masalah air dan pelestaran lingkungan secara terpadu tak cukup hanya mengedepankan aturan, rencana tata ruang, atau kepiawaian teknis dan sains belaka. Tapi juga harus memerhatikan masalah mentalitas dan moral. Dan justru masalah mentalitas dan moral sumber daya pelaksana inilah hambatan terbesarnya.
Adakah masyarakat kita dan kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjalankan fungsinya secara benar? Kebutuhan kita memahami daruratnya masalah air dan pengetahuan formil lingkungan hidup kini menjadi penting.
Materi Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah sudah berjalan. Namun ketika pendidikan formil menjadi mahal, dapatkah semua anak bangsa menyerapnya?
Ketika kaum papa dan miskin tengah sibuk dalam pergulatan ekonomi yang kian sulit, jurang kaya dan miskin semakin melebar, pendidikan tak lagi bersahabat dengan si miskin. Mungkinkah mereka masih memiliki optimisme, atau justru menjadi apatis oleh keletihan? Sebab hidup susah sudah sangat melelahkan, memikirkan nasi buat esoknya saja sudah kepayahan, kerap mereka tak bisa paham soal menjaga lingkungan? Sangat logis jika mereka frustrasi, menjadi pelaku vandalisme, buang hajat dimana saja, dan buang sampah dimana saja. Bagi mereka gaya hidup mapan itu tak lagi terpikirkan.
Lantas berapa banyak pendidikan agamis menekankan soal lingkungan hidup? Sudahkan para pemimpin religi kita menjelaskan makna dosa saat merusak lingkungan? Seberapa banyak Majelis Taklim kita memberikan pembelajaran bahayanya kerusakan lingkungan dan dosa besar merusak lingkungan, serta apa kriteria perbuatan yang merusak lingkungan?
Betapa ironisnya jika pengerukan sungai, penghijauan, menata dan membuat taman di sempadan sungai dan di bantaran sungai berlanjut dengan keterlantaran. Artinya tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang disiplin dan konsisten. Mentalitas disiplin juga amat menentukan.
Sudahkan budaya disiplin dan jiwa pekerja keras kita hidup? Atau justru budaya lamban, ceroboh, santai dan malas yang berkembang?
Masalah peraturan dan himbauan, sebenarnya takkan pernah efektif tanpa dukungan sumber daya manusia yang tahu, mengerti, paham dan handal dalam menyikapi gaya hidup ramah lingkungan.
Apalah artinya semua ilmu pengetahuan, peraturan, rencana-rencana gemilang tanpa sosok pelaksana yang kredibel. Apalah artinya cetak biru dan perencanaan paripurna jika tidak ada yang merealisasikannya dengan cara cerdas, berwawasan, dengan ditenagai semangat dari hati nurani yang jernih.
Perhatikan saja (berita Harian Pikiran Rakyat 30 November 2011 halaman 3), bagaimana bangunan liar di jalan Tamansari Bandung bisa memiliki rekening PLN resmi. Saat dibongkar oleh satpol PP mereka tercatat sebagai pelanggan resmi, yang nota bene syarat pelanggan PLN itu harus memiliki IMB yang sah.
Simak pula betapa merdekanya bangunan-bangunan berdiri di daerah aliran sungai, pada sempadan yang berbahaya buat mereka sendiri, sekaligus membahayakan lingkungan. Bukan tak mungkin mereka merasa berani dan aman karena tak ada tindakan tegas dari yang berwenang sekaligus terjadi pembiaran, bahkan malah dilindungi dukungan dari para oknum.
Maka, masalah air dan pelestaran lingkungan secara terpadu tak cukup hanya mengedepankan aturan, rencana tata ruang, atau kepiawaian teknis dan sains belaka. Tapi juga harus memerhatikan masalah mentalitas dan moral. Dan justru masalah mentalitas dan moral sumber daya pelaksana inilah hambatan terbesarnya.
Adakah masyarakat kita dan kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjalankan fungsinya secara benar? Kebutuhan kita memahami daruratnya masalah air dan pengetahuan formil lingkungan hidup kini menjadi penting.
Materi Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah sudah berjalan. Namun ketika pendidikan formil menjadi mahal, dapatkah semua anak bangsa menyerapnya?
Ketika kaum papa dan miskin tengah sibuk dalam pergulatan ekonomi yang kian sulit, jurang kaya dan miskin semakin melebar, pendidikan tak lagi bersahabat dengan si miskin. Mungkinkah mereka masih memiliki optimisme, atau justru menjadi apatis oleh keletihan? Sebab hidup susah sudah sangat melelahkan, memikirkan nasi buat esoknya saja sudah kepayahan, kerap mereka tak bisa paham soal menjaga lingkungan? Sangat logis jika mereka frustrasi, menjadi pelaku vandalisme, buang hajat dimana saja, dan buang sampah dimana saja. Bagi mereka gaya hidup mapan itu tak lagi terpikirkan.
Lantas berapa banyak pendidikan agamis menekankan soal lingkungan hidup? Sudahkan para pemimpin religi kita menjelaskan makna dosa saat merusak lingkungan? Seberapa banyak Majelis Taklim kita memberikan pembelajaran bahayanya kerusakan lingkungan dan dosa besar merusak lingkungan, serta apa kriteria perbuatan yang merusak lingkungan?
Betapa ironisnya jika pengerukan sungai, penghijauan, menata dan membuat taman di sempadan sungai dan di bantaran sungai berlanjut dengan keterlantaran. Artinya tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang disiplin dan konsisten. Mentalitas disiplin juga amat menentukan.
Sudahkan budaya disiplin dan jiwa pekerja keras kita hidup? Atau justru budaya lamban, ceroboh, santai dan malas yang berkembang?
sumber :
https://kicknews.today/2017/07/04/dianggap-jadi-biang-kerok-banjir- pemkot-akan-bongkar-bangunan-pinggir-sungai
http://dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=2164
http://kovoid.blogspot.co.id/2014/02/potensi-bahaya-bangunan-rumah-di.html
http://eastlamp-lampeast.blogspot.co.id/2012/06/eksploitasi-sumber-daya-alam.html
http://mancakpanenjoan.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1.) Berkomentar lah dengan bebas tetapi sopan
2.) Tidak deiperkenankan berjualan di blog ini entah memasang iklan dan sebagainya
3.) tidak diperbolehkan berkomentar yang mengandung unsur pornografi dan sara